Rusia, Selasa
(18/3/2014), akhirnya menandatangani traktat untuk menerima Crimea
menjadi wilayahnya menyusul hasil referendum yang menunjukkan sebagian
besar warga semenanjung itu menginginkan kembali menjadi wilayah Rusia.
Presiden
Rusia Vladimir Putin menandatangani naskah traktat itu bersama PM
Crimea dan ketua parlemen Rusia, setelah sebelumnya memberikan pidato
kenegaraan yang diwarnai tepuk tangan meriah anggota parlemen Rusia.
Dalam
pidatonya, Putin menekankan bahwa hasil referendum Crimea yang
menunjukkan 96 persen warga wilayah itu ingin bergabung dengan Rusia
membuat hasil referendum itu tak bisa diragukan lagi.
Putin
mengatakan secara sejarah, kebudayaan, keagamaan, dan spiritual terikat
dengan Rusia, Ukraina, dan Belarus. Hal itu menunjukkan sikap Rusia
terhadap semenanjung itu.
Putin menambahkan, Crimea memiliki
catatan kelam dalam sejarah masa lampaunya, khususnya diskriminasi
terhadap etnis Tatar Crimea dan etnis minoritas lainnya.
"Pemerintah
Crimea mencari cara untuk mengobati luka itu. Salah satunya adalah
menerima bahasa Tatar Crimea sebagai bahasa resmi bersama bahasa Rusia
dan Ukraina," ujar Putin.
Dalam pidato itu, Putin juga mengecam
kebijakan mantan pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev. Sebab, di masa
pemerintahan Kruschev, Crimea dihadiahkan kepada Ukraina tanpa
persetujuan rakyat Crimea.
"Perpisahan Crimea dari Rusia kembali terjadi setelah bubarnya Uni Soviet. Ini juga menjadi kesalahan Moskwa," tambah Putin.
Rusia, lanjut dia, menghormati hasil dari pecahnya Uni Soviet, termasuk fakta Crimea menjadi wilayah Ukraina saat itu.
Putin menegaskan, masalah Crimea ini tidak akan mengganggu hubungan Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung lama.
"Rusia memandang hubungan dengan Ukraina adalah hal yang terpenting," ujar Putin.
No comments:
Post a Comment